Saat Bayi Mulai Makan, Saat Ia Mencecap Semangkuk Cinta Ibu

Ibu, ketika sudah terlanjur memberikan susu instan lantaran kesulitan mengatur metabolisme internal tubuh guna memproduksi cukup ASI, tidakkah ketika si kecil memulai fase MPASInya ibu berniat “balas dendam” dan memberikan hanya yang terbaik nan alami untuknya? Membuat makanan bayi tidak membutuhkan pengendalian metabolisme tubuh internal, semuanya serba eksternal. Kecuali, niat kuat dalam hati kita tentunya.

Ketika sudah bertekad untuk “balas dendam”, mencoba memperbaiki “kesalahan” karena tidak mampu memberi si kecil ASIX selama 6 bulan, saya yakin yang hadir adalah sosok ibu dengan semangat baru. Seorang ibu yang rela belajar masak sederhana demi si kecil. Seorang ibu yang nyemplung grup sana-sini, ikut seminar di sini-situ, dan baca buku/artikel ini-itu, demi dan hanya demi asupan alami terbaik bagi si kecil. Ibu, jika anak riang nan ceria, siapa yang bahagia? Jika anak sehat, imunitasnya baik, tidak sering sakit, lekas pulih saat sakit, dan gagah nan aktif dalam kesehariannya, siapa yang bahagia? Kita, ya, tentu orang tuanyalah yang akan jadi manusia paling bahagia demi melihat si kecil tumbuh demikian baik, bukan?

Saya tidak bicara soal berat badan. Kita sudah tertinggal terlalu jauh kalau hanya mengandalkan berat badan dan kenaikannya sebagai patokan tumbuh kembang anak. Kenapa? Ayo, yang punya akses bisa baca tulisan di blog ini, buka juga kamus sejati si Mbah Google itu dan tanyakan kenapa. Mulai dari titik ini, mari biasakan mencari tahu sendiri, mari upayakan pemberdayaan diri, mari cerdaskan diri sendiri dan marilah mulai “kepo” dan sangat kepo untuk cari tahu apapun tentang tumbuh kembang anak. Ingat, kita adalah orang tua kini, ada nyawa-nyawa yang masa depannya bergantung pada seberapa besar usaha kita untuk membuat fisiknya sehat dan jiwanya bugar.

Saya juga tidak bicara makanan rumahan untuk anak-anak yang lebih besar, meskipun secara pribadi berharap kebiasaan baik masak untuk keluarga bisa diteruskan. Tapi tidak, saya ingin kita fokus pada makanan balita, lebih sempit lagi pada makanan pada fase awal MPASI hingga si kecil berusia dua tahun. Kita bicara tentang bayi yang seumur hidupnya baru belajar mencerna makanan; tegakah ibu jika lidah dan saluran cernanya ‘diperawani’ makanan pabrikan yang telah mengalami sekian proses hingga berkurang atau bahkan hilang kandungan nutrisinya? Oh, please, jangan bilang “biasa aja tuh, gak masalah.” Apalagi kalau kita malah mulai bersiap-siap dengan segala argumentasi (baca: pembenaran) tentang pemberian aneka makanan pabrikan itu. Alih-alih belajar hal baru, kita justru akan kian defensif dan berbangga hati akan pilihan yang serba instan itu.

Sudah baca tentang kontaminasi bakteri Enterobacter Sakazakii pada susu formula yang merknya tidak dipublikasikan oleh pemerintah padahal keputusan pengadilan mengharuskan demikian? Well, saya juga baru tahu setelah nonton acara Kick Andy beberapa hari lalu, dan menemukan bahwa Kemenkes ternyata telah digugat oleh seorang pengacara agar membeberkan temuan tersebut sekaligus mengumumkan produk dimaksud. Gugatan ini dimenangkn oleh majelis hakim dan masyarakat berhak untuk mengetahui informasi yang benar terhadap produk yang dikonsumsinya (perlindungan konsumen). Ajaibnya, meskipun dinyatakan kalah, Kemenkes hingga detik ini kita tak kunjung membuka informasi tentang produk yang sebenarnya mengancam kesehatan anak-anak kita itu. Sungguh ironis.

Susu formula saja bisa terkontaminasi bakteri; bagaimana kita yakin kalau bubur dan biskuit bayi pabrikan bebas kontaminasi? Sekarang, tidakkah kita mulai merasa cemas. Tolong bayangkan saluran cerna yang belum sempurna itu, belum tersedianya segala enzim, geligi yang belum lengkap, dan ah… bayangkan saja tentang seringkih-ringkihnya bayi-bayi baru belajar makan yang amat kita kasihi itu. Betulkah kita tega memberinya “sesuatu” yang kita tidak yakin isi dan proses membuatnya, bahkan tak jua yakin akan manfaatnya untuk si kecil?

image

Ah, ayolah, ibu dan ayah yang sudah sampai pada tulisan ini, saya yakin adalah mereka yang tidak akan tega melakukan hal di atas. Tinggal maju sedikit ke tahap mau baca dan belajar lebih banyak lagi tentang MPASI dapur ibu, dibarengi dengan niat tulus demi memberikan si kecil kesempatan belajar makan yang baik, saya percaya kita sedang menuju ke arah yang sama.

image

Selain niat dan usaha untuk memperkaya ilmu, yang kita perlukan berikutnya cukup belanja makanan segar, olah secara sederhana, dan menyajikannya penuh cinta di hadapan si kecil yang membuka mulutnya lebar-lebar, seolah tak sabar menanti semangkuk cinta itu. Tidak bisa belanja setiap hari, belanjalah seminggu sekali. Rumah kita jauh dari pasar,  manfaatkan supermarket dengan diskon mingguannya. Tidak punya dana lebih dan akses terbatas, titiplah yang sederhana dan pas di kantong pada tukang sayur keliling. Sesuaikan dengan keuangan rumah tangga, sesuaikan dengan kekayaan alam sekitar; cari yang mudah didapat dan murah di kantong.

image

Kita tidak perlu melulu mengikuti resep ideal seperti yang kita baca di buku atau peroleh di internet. Ada labu parang sebagai ganti kabocha. Ada mentimun sebagai ganti zucchini. Ada pisang raja/ambon sebagai alternatif pisang cavendish  Ada kombinasi keju cheddar yang lebih murah (dan sudah lebih banyak beredar di tanah air) dan susu cair untuk mengganti cream-cheese. Ada susu UHT untuk mensubstitusi susu evaporated. Ada banyak, Ibu, banyak sekali makanan lokal yang lebih kaya. Jangan paksakan memasak macaroni schotel, kalau ternyata kue pisang lebih cocok di lidah. Jangan pula paksakan membuat kue lapis legit yang sulit jika pancake lebih mudah dan cepat dikerjakan. Lakukan sebisa kita, masak semampu kita.

image

Perkara kita ingin meningkatkan kemampuan memasak, itu lain urusan. Utamakan dulu kemampuan: baik dana, waktu, dan keterampilan. Jangan terlalu memaksa diri pada awalnya, temukan keasyikan seiring berjalannya waktu. Jangan menyudutkan diri sendiri dan jangan bikin diri kita terlalu lelah. Lebih baik kecil dan sederhana tapi berkesinambungan, daripada besar dan rumit tapi hanya sesekali. Mudahkan diri kita, agar rasa bosan enggan mampir, agar rasa lelah cepat enyah.

image

Begitu kita temukan keasyikan saat menyiapkan makanan si kecil, siapa pun tidak bisa mengerem suka cita saat melakukannya. Begitu kita temukan kebahagiaan di wajah si kecil saat ia makan, apa pun di dunia ini tidak akan sanggup menggantikan rasa bangga menjadi ibunya.

Percayalah, binar matanya dan belepotan di pipi dan dagunya saat mencicipi masakan ibu, akan jauh lebih membahagiakan ketimbang melihatnya makan semangkuk bubur instan dan sekerat biskuit pabrikan. Ada cinta dalam semangkuk makanan dan segelas minuman yang ibu siapkan untuknya. Di jiwanya kini, ia cecap cinta dalam sederhananya makanan yang kita siapkan; dan seumur hidup ia takkan pernah lupa “rasa” cinta itu. 🙂

4 Comments

  1. sukkaaaaaa sekali…seperti pengelaman saya, walau pun banyak yg menentang dengan pilihan saya untuk selalu memberi makanan baby Rafif dengan buatan sendiri, dan tetep kekeh jungkir balik mikirin menu nya, senang ada teman seperjuangan

Leave a comment